Selasa, 20 Agustus 2013

Perginya Tokoh Utama (1)

Malam ini ku terbangun. Terbangun karena sebuah mimpi. Mimpi dari kejadian nyata yang telah terjadi 3 tahun silam. Kejadian yang menjadikan dua orang tua sebagai tokoh utamanya. Dan tragisnya, ini adalah mimpi yang merenggut nyawa dua tokoh tersebut. Ingin kumelupakannya, tapi kenangan tak akan pernah hilang dari ingatan. Air mata seakan tak pernah habis untuk menangisi kejadian ini. Hal ini bermula di tengah malam, saat aku tertidur nyenyak.

Bapak Sutarman
Bapak adalah orang yang taat beribadah. Walaupun tidak berjenggot dan tidak memiliki tanda hitan di kening , namun beliau selalu sholat tepat waktu. Bukan hanya sholat wajib 5 waktu, tapi sholat sunnah pun juga dilakukannya. Seperti malam itu. Bapak akan melakukan sholat malam.

Seperti biasa, sebelum melakukan sholat malam. Bapak selalu mandi dahulu. Entah apa yang ada dipikirannya, mandi di tengah malam untuk sholat malam yang setelahnya akan tidur kembali. Padahal, sorenya bapak sudah mandi. Aku berpikir, mungkin bapak ingin terlihat segar, wangi dan bersih saat bersujud kepada-Nya. Hal itu terlihat saat sholat, bapak selalu memakai kemeja yang rapi. Namun, hari ini tidak berjalan lancar.

Saat memakai kemeja, tiba-tiba Bapak sesak napas. Belum sempat bapak sholat malam, namun dia sudah tergeletak di kasur kembali. Sesak, sangat sesak dadanya. Hingga hal itu membuat Ibuk terbangun dan langsung mendekati Bapak. Ibuk panik. Ibuk langsung bersiap menelpon Taxi untuk mengantarkannya ke Rumah Sakit. Namun tangannya ditahan Bapak. Dan mendengarkan perkataan Bapak yang lirih

"Ojo mbok gowo aku nang rumah sakit, sedurunge cah cah ngumpul nang kene"

Ya, yang dimaksud Bapak adalah aku dan Masku. Aku yang saat itu tertidur serta Mas pertama yang sedang di kelurahan. Tentu Mas kedua tidak masuk hitungan, karena dia sedang ada di luar kota, tepatnya di Tangerang. Hal yang tidak bisa membuatnya "mengabulkan" ucapan Bapak.

Setelah Bapak berkata itu, Ibuk langsung membangunkan aku. Aku yang baru saja terlelap, berusaha untuk bangun. Dan dengan gaya orang mabuk, mendekati Bapak. Aku langsung mendapat kesadaran penuh saat melihat Bapak mengerang sakit dan Ibuk menuntun Bapak untuk melafalkan ayat suci Al Quran. Setelah itu, aku menggantikan posisi Ibuk karena beliau menelpon Mas pertama supaya cepat pulang. Di saat itu, tiba-tiba Bapak berpesan kepadaku untuk jangan pernah melupakan sholat. Aku hanya menganggukkan kepala dan terus menuntun Bapak.

Tak berselang lama, Mas pertama datang. Dia langsung mendekat ke Bapak. Namun, Bapak seakan sudah tidak sadar keadaan sekitar. Beliau sudah tidak bisa bicara. Busa putih keluar dari mulut dan hidungnya. Ibuk semakin panik dan menelpon taxi. Tak ada yang bisa aku lakukan, aku merasa berat. Malam yang seharusnya sepi, kini menjadi ramai. Bahkan tetangga pun datang membantu Bapak naik ke Taxi dan membawanya ke Rumah Sakit.

Di dalam taxi, ada 5 orang. Di bagian depan ada sopir dan Ibu, di bagian belakang ada aku, tetanggaku dan Bapak dengan posisi tertidur. Kepalanya aku pangku. Di tengah perjalanan, aku merasakan bahwa Bapak sudah tiada. Dadaku sesak, kusebut nama Bapak berulangkali. Kugoyahkan kepalanya hingga aku ditegur Ibuk untuk jangan berpikir macam-macam dan teruskan menuntun Bapak melafalkan ayat suci Al Quran.

Akhirnya tiba di Rumah Sakit. Sudah ada perawat yang sigap membawa Bapak ke ruang UGD. Aku merasa percuma saja, Bapak sudah tiada. Aku mencari tempat untuk menyendiri, menata hati supaya tidak emosi. Menata hati supaya tidak menangis. Hingga kami sekeluarga dipanggil dokter dan dipersilahkan masuk ke ruang UGD. Alhamdulilah, apakah Bapak selamat? Ternyata tidak, kami dipersilahkan masuk untuk melihat jenasahnya. Jenasah bapak yang aku cintai. Lemas tak berdaya. Masih dengan kemeja yang akan dikenakan sewaktu sholat malam, dan masih menggunakan celana pendek karena belum sempat mengenakan sarung. 

Ini adalah jenasah Bapak yang aku sayang. Dan sangat sayang kepadaku. Kepada istrinya. Kepada semua keluarganya. Kini telah tiada. Aku keluar dan berteriak memanggil namanya. Aku menangis. Bapak yang selalu ada untukku, Bapak yang selalu menuruti apa inginku, Bapak yang selalu membuatku tertawa. Dan sekarang, apa yang sudah aku lakukan untuknya? Hingga akhirnya Bapak sudah tak bernyawa. Apapun yang aku lakukan mulai sekarang, aku tetap tak bisa melihat Bapak tertawa. Tak bisa melihat Bapak bangga mempunyai aku. Anaknya yang selama hidupnya hanya bisa merepotkannya.

Aku menangis kencang, tak peduli itu tengah malam, tak peduli itu di Rumah Sakit. Yang aku pedulikan hanyalah, Bapak sudah tiada. Hingga Ibuk mendekatiku, memelukku sambil menahan rasa tangisnya, yang mana aku tau Ibuk lebih sedih daripada aku. Tapi beliau berusaha kuat di depan anaknya. Itulah yang membuatku terdiam. Ya, aku masih memiliki Ibuk. Apapun yang terjadi, aku akan menjaga Ibuk, selamanya, pikirku. Walaupun ternyata itu tidak berlangsung lama.

.......................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Komentar Komentar, Gratis tanpa dipungut biaya.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...